Kamis, 13 Desember 2012

twilight part 2


2. BUKU YANG TERBUKA KEESOKAN

harinya lebih baik... tapi juga lebih buruk. Lebih baik karena hujan belum turun, meski langit sudah tebal oleh mendung. Itu lebih mudah karena aku jadi tahu apa yang kuharapkan. Mike duduk bersamaku di kelas bahasa Inggris, dan mengantarku ke kelasku berikut. Eric si anggota Klub Catur memelototinya sepanjang waktu; membuatku tersanjung. Orang-orang tidak memandangiku seperti kemarin. Aku duduk dalam kelompok besar saat makan siang bersama Mike, Eric, Jessica, dan beberapa anak lainnya yang nama dan wajahnya bisa kuingat sekarang. Aku mulai merasa seperti air yang mengalir tenang bukan tenggelam. Lebih buruk karena aku lelah. Aku masih tak bisa tidur karena angin yang terus bergema di sekeliling rumah. Lebih buruk karena Mr. Varner memanggilku di pelajaran Trigono padahal aku tidak mengacungkan tangan dan jawabanku salah. Menyedihkan karena aku harus main voli, dan sekalinya tidak terhantam bola, aku malah melemparkannya ke teman sereguku. Dan lebih buruk karena Cakka Cullen sama sekali tak terlihat di sekolah. Sepagian aku sangat mengkhawatirkan saat makan siang waswas terhadap tatapan anehnya. Sebagian diriku ingin mengonfrontasinya dan menuntut ingin mengetahui apa masalahnya. Ketika terbaring nyalang di ranjang aku bahkan membayangkan apa yang bakal kukatakan. Tapi aku mengenal diriku terlalu baik, tak mungkin aku punya nyali melakukannya. Aku membuat Singa Pengecut terlihat seperti sang pemusnah. Tapi ketika aku berjalan ke kafetaria bersama Jessica— mencoba menjaga mataku agar tidak nanar mencari sosok Cakka dan gagal total—aku melihat keempat saudaranya duduk bareng di meja yang sama, tapi ia sendiri tak ada. Mike menghadang dan mengajak kami ke mejanya. Jessica sepertinya senang dengan perhatian Mike, dan teman-teman Jessica langsung bergabung dengan kami. Tapi sementara aku berusaha mendengarkan obrolan santai mereka, aku merasa sangat tidak nyaman, gelisah menantikan kedatangan Cakka. Aku berharap ia akan mengabaikan aku kalau muncul nanti, dan membuktikan kecurigaanku keliru. Ia tidak datang, dan dengan berlalunya waktu, aku pun semakin tegang. Aku menuju kelas Biologi dengan lebih percaya diri. Sampai waktu makan siang berakhir tadi, Cakka masih belum muncul juga. Mike, yang mirip Golden Retriever, melangkah setia di sisiku menuju kelas. Sesampainya di pintu aku menahan napas, tapi Cakka Cullen juga tidak ada di sana. Aku mengembuskan napas dan pergi ke kursi. Mike mengikuti sambil terus membicarakan rencana jalanjalan ke pantai. Ia tetap di mejaku sampai bel berbunyi. Lalu ia tersenyum sedih dan beranjak duduk dengan cewek berkawat gigi yang rambutnya keriting dan jelek. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu tentang cowok itu, dan ini takkan mudah. Di kota seperti ini, tempat orang-orang selalu ingin tahu apa yang terjadi atas orang lain, diplomasi sangatlah penting. Aku tak pernah pandai berdiplomasi; aku tak pernah berpengalaman menghadapi teman cowok yang kelewat ramah. Aku lega karena bisa menempati meja itu sendirian, berhubung Cakka tidak masuk. Aku terus-menerus mengingatkan diriku, tapi aku tak bisa mengenyahkan kecurigaan bahwa akulah alasan ketidakhadirannya. Betapa konyol dan narsis mengira diriku bisa memengaruhi orang seperti itu. Tidak mungkin. Tapi toh aku tak bisa berhenti mengkhawatirkan bahwa itu benar. Ketika sekolah akhirnya usai, dan rona di pipiku akibat kecelakaan waktu main voli tadi mulai memudar, aku buruburu mengenakan kembali jins dan sweter biru tentaraku. Aku bergegas meninggalkan kamar ganti cewek, senang karena untuk sementara berhasil melepaskan diri dari temanku yang suka mengekor. Aku berjalan cepat menuju parkiran. Tempat itu dipenuhi murid yang lalu-lalang. Aku masuk ke truk dan mengaduk-aduk tas, memastikan semua ada di situ. Semalam aku mengetahui Charlie tak bisa memasak kecuali membuat telur goreng dan bacon. Jadi aku meminta diberi tugas memasak selama tinggal bersamanya. Charlie dengan senang hari menyerahkan urusan itu kepadaku. Aku juga mendapati Charlie tidak menyimpan makanan apa pun di rumah. Jadi aku membuat daftar belanjaan, lalu mengambil uang dari stoples bertuliskan UANG MAKANAN yang disimpan di lemari, dan sekarang akan menuju Thrifrway. Aku menyalakan mesin truk yang menggelegar, mengabaikan kepala-kepala yang menengok, dan mundur pelan menuju barisan mobil yang mengantre keluar dari parkiran. Ketika aku menunggu, mencoba berpura-pura bahwa deru yang memekakkan telinga ini berasal dari mobil orang lain, aku melihat Cullen bersaudara, dan si kembar Hale masuk ke mobil mereka. Volvo baru yang mengilap. Tentu saja. Sebelumnya aku tidak memerhatikan pakaian mereka—aku kelewat terpesona dengan rupa mereka. Karena sekarang aku memerhatikan, jelas sekali mereka berpakaian sangat bagus: simpel, namun bermerek. Dengan rupa mereka yang luar biasa keren, gaya mereka, mereka bisa saja memakai lap tangan dan tetap kelihatan keren. Rasanya berlebihan sekali memiliki keduanya: wajah rupawan dan uang. Tapi sejauh yang kutahu, hidup memang lebih sering seperti itu. Dan sepertinya kenyataan itu tak lantas membuat mereka diterima di sini. Tidak, aku tak percaya sepenuhnya. Mereka memang suka menyendiri; tak bisa kubayangkan tak ada yang tidak mau menyambut ketampanan dan kecantikan seperti itu. Mereka memandang trukku yang berisik ketika aku melewati mereka, sama seperti yang lain. Pandanganku tetap terarah ke muka dan aku merasa lega ketika akhirnya keluar dari lahan sekolah. The Thriftway tak jauh dari sekolah, hanya beberapa blok ke selatan, selepas jalan raya. Rasanya menyenangkan bisa berada di dalam supermarket; rasanya normal. Di tempat asalku akulah yang berbelanja, dan aku menyukainya. Supermarket itu cukup luas sehingga aku tak dapat mendengar tetesan air hujan di atap yang mengingatkan keberadaanku sekarang. Sesampai di rumah aku mengeluarkan semua barang belanjaan, lalu menyumpalkannya di mana-mana. Kuharap Charlie tidak keberatan. Kubungkus kentang dengan aluminium dan kumasukkan ke oven lalu memanggangnya, melapisi steik dengan saus marinade, dan meletakkannya di atas sekarton telur di kulkas. Selesai melakukannya, aku membawa tas sekolahku ke atas. Sebelum mengerjakan PR, aku mengganti pakaian dengan yang kering mengikat rambutku yang lembab jadi kucir kuda, dan memeriksa e-mail-ku untuk pertama kali. Aku mendapat tiga pesan. "Oik," tulis ibuku... Kirimi aku kabar begitu kau sampai. Ceritakan bagaimana penerbanganmu. Apakah hujan? Aku sudah merindukanmu. Aku hampir selesai mengepak untuk ke Florida, tapi aku tak bisa menemukan blus pinkku. Kau tahu di mana aku meletakkannya? Phil kirim salam. Mom. Aku mendengus dan membaca pesan berikutnya. Pesan itu dikirim delapan jam setelah pesan pertama. "Oik," tulisnya... Kenapa kau belum kirim e-mail? Apa sih yang kautunggu? Mom. Yang terakhir dikirim pagi ini. IsaOik, Kalau sampai jam setengah enam sore ini aku belum juga mendengar kabar darimu, aku akan menelepon Charlie. Aku melihat jam. Aku masih punya waktu satu jam, t. ibuku sangat terkenal suka meledak-ledak. Mom, Tenang saja. Aku sedang menulis sekarang. Jangan konyol. Oik. Aku mengirimnya dan memulai lagi. Mom, Semua baik-baik saja. Tentu saja di sini hujan. Aku menunggu sampai punya cerita yang bisa kubagikan. Sekolahku tidak jelek, hanya sedikit mengulang pelajaran. Aku bertemu beberapa anak yang baik yang makan siang bersamaku. Blus pinkmu ada di dry clean-kau harus mengambilnya hari Jumat. Charlie membelikan aku truk, kau percaya? Aku menyukainya. Mobil tua, tapi benar-benar "bandel", yang berarti bagus, kau tahu kan, buatku. Aku juga rindu padamu. Aku akan menulis lagi nanti, tapi aku takkan mengecek e-mail-ku setiap lima menit sekali. Tenang, tarik napas. Aku sayang Mom. Oik. Kuputuskan untuk membaca Wuthering Heights – novel yang sedang kami pelajari di kelas bahasa Inggris-demi kesenangan, dan itulah yang kulakukan ketika Charlie pulang, bergegas turun mengeluarkan kentang dari oven serta memanggang steiknya. "Oik?" panggil ayahku ketika mendengar aku menuruni tangga. Memangnya ada orang lain? pikirku. "Hei, Dad, sudah pulang?" "Ya." Ia menggantungkan sabuk senjatanya dan melepaskan botnya sementara aku sibuk di dapur. Setahuku, ia tak pernah menembakkan senjatanya selama bertugas. Tapi senjatanya itu selalu siaga. Waktu aku datang ke sini, ketika masih kanak-kanak, Dad selalu mengosongkan pelurunya begitu ia masuk ke rumah. Kurasa sekarang ia sudah menganggapku cukup dewasa sehingga tidak akan dengan sengaja menembak diriku sendiri, dan tidak depresi sehingga mencoba bunuh diri. "Kita makan malam apa?" tanya Dad hati-hati. Ibuku juru masak imajinatif, dan percobaannya tak selalu aman untuk dimakan. "Steik dan kentang" jawabku, dan Dad tampak lega. Sepertinya ia merasa salah tingkah berada di dapur tanpa melakukan apa-apa; jadi ia pergi ke ruang tamu dengan langkah diseret lalu menonton TV sementara aku bekerja di dapur. Ini lebih nyaman buat kami berdua. Aku membuat salad sementara steiknya sedang dipanggang kemudian menyiapkan meja makan. Aku memanggil ayahku ketika makan malam sudah siap, dan ia mengendus nikmat sambil menuju ruang makan. "Aromanya lezat, Bell." "Terima kasih." Selama beberapa menit kami makan dalam diam. Namun diam yang nyaman. Tak satu pun dari kami terusik keheningan itu. Dalam beberapa hal, kami sangat cocok hidup bersama. "Jadi. bagaimana sekolahmu? Apa kau sudah dapat teman baru?" Dad berkata setelah mengulur waktu. "Well, aku mengambil beberapa kelas bersama cewek bernama Jessica. Saat makan siang, aku duduk bersama teman-temannya. Lalu ada cowok, Mike, yang sangat bersahabat. Semuanya kelihatan lumayan baik." Dengan satu pengecualian mencolok. "Itu pasti Mike Newton. Anak baik—keluarganya baik. Ayahnya memiliki toko perlengkapan olahraga di luar kota. Karena banyak backpaeker yang datang ke sini, dia cukup berhasil." "Apa kau mengenal keluarga Cullen?" tanyaku raguragu. "Keluarga dr. Cullen? Tentu. Dr. Cullen orang hebat." "Mereka... anak-anaknya... agak berbeda. Sepertinya mereka tidak bisa beradaptasi dengan baik di sekolah." Charlie mengejutkanku karena ekspresinya tampak marah. "Orang-orang di kota ini," gumamnya. "Dr. Cullen ahli bedah genius dan dia bisa saja memilih bekerja di rumah sakit mana pun di dunia ini, dengan gaji sepuluh kali lipat daripada yang didapatnya di sini," lanjutnya, suaranya makin keras. “Kita beruntung memilikinya—beruntung istrinya mau tinggal di kota kecil. Dia aset bagi komunitas kita, dan perilaku anak-anak mereka baik dan sopan. Aku memang pernah ragu ketika mereka pertama pindah ke sini, dengan anak-anak remaja adopsi itu. Kupikir mereka akan menimbulkan masalah. Tapi mereka sangat dewasa—aku belum mendapat satu masalah pun dari mereka. Sesuatu yang belum pernah dilakukan anak-anak yang orangtuanya telah tinggal di sini selama beberapa generasi. Dan keluarga itu hidup seperti keluarga biasa—pergi kemping setiap dua akhir pekan sekali... Tapi hanya karena mereka pendatang baru, lalu orang-orang menggunjingkan mereka." Itu ucapan terpanjang yang pernah kudengar dari Charlie. Ia pasti tidak menyukai apa pun yang dikatakan orang-orang. Aku mundur sedikit. "Bagiku mereka sepertinya cukup ramah. Hanya saja kulihat mereka sepertinya menyendiri. Mereka sangat menarik," tambahku. "Kau harus bertemu dr. Cullen," kata Charlie tertawa. "Untunglah pernikahannya bahagia. Banyak perawat di rumah sakit sulit berkonsentrasi bila dia berada di sekitar mereka." Kami kembali terdiam ketika selesai makan. Charlie membersihkan meja sementara aku mencuci piring. Ia kembali menonton TV, dan setelah selesai mencuci piring— di sini tidak ada mesin pencuci piring—dengan enggan aku naik untuk mengerjakan PR matematika-ku. Aku bisa merasakan sebuah tradisi ketika mengerjakannya. Malam itu suasana tenang. Aku tertidur dengan cepat, kelelahan. Sisa minggu itu berlangsung membosankan. Aku terbiasa dengan rutinitas kelasku. Pada hari Jumat aku sudah bisa mengenali wajah, kalaupun bukan nama, hampir semua murid di sekolah. Di gimnasium anak-anak di timku sudah paham untuk tidak mengoper bola padaku dan tidak buruburu melangkah di depanku kalau tim lain mencoba memanfaatkan kelemahanku. Dengan senang hati aku menyingkir dari mereka. Cakka Cullen tidak kembali ke sekolah. Setiap hari, dengan waswas aku memerhatikan sampai seluruh keluarga Cullen memasuki kafetaria tanpanya. Setelah itu baru aku bisa santai dan ikut nimbrung dalam pembicaraan makan siang. Sering kali obrolan kami adalah mengenai perjalanan menuju La Push Ocean Park dua minggu mendatang yang diprakarsai Mike. Aku diajak, dan telah setuju untuk ikut. Bukan karena ingin, tapi lebih karena tidak enak menolaknya. Pantai seharusnya panas dan kering. Hari Jumat dengan nyaman aku memasuki kelas Biologiku, tak lagi mengkhawatirkan Cakka. Yang kutahu, ia telah meninggalkan sekolah. Aku berusaha tidak memikirkannya, tapi aku tak bisa benar-benar menekan kekhawatiran bahwa akulah yang bertanggung jawab atas absennya Cakka. Memang konyol sih. Akhir pekan pertamaku di Forks berlalu tanpa insiden. Charlie, yang tidak terbiasa menghabiskan waktu di rumah yang biasanya kosong memilih bekerja sepanjang akhir pekan. Aku membersihkan rumah, mengerjakan PR, dan menulis e-mail yang lebih ceria untuk ibuku. Hari Sabtu aku pergi ke perpustakaan, tapi berhubung koleksinya sangat sedikit, aku tidak jadi membuat kartu anggota; aku harus membuat jadwal untuk segera mengunjungi Olympia atau Seattle dan menemukan toko buku yang bagus di sana. Iseng aku membayangkan seberapa jauh jarak tempuh truk ini... dan bergidik memikirkannya. Sepanjang akhir pekan hujan gerimis, tenang sehingga aku bisa tidur nyenyak. Hari Senin orang-orang menyapaku di parkiran. Aku tidak tahu nama mereka masing-masing tapi aku balas melambai dan tersenyum pada semuanya. Pagi ini cuaca lebih dingin, tapi untungnya tidak hujan. Di kelas bahasa Inggris, seperti biasa Mike duduk di sebelahku. Ada ulangan mendadak mengenai Wuthering Heights. Sejujurnya, ulangan itu sangat mudah. Secara keseluruhan aku merasa jauh lebih nyaman daripada yang kusangka bakal kurasakan pada titik ini. Lebih nyaman dari yang pernah kuperkirakan. Ketika kami berjalan keluar kelas, udara dipenuhi butiran putih yang berputar-putar. Aku bisa mendengar orang-orang berteriak kesenangan. Angin menerpa pipi dan hidungku. "Wow," kata Mike. "Salju." Aku memandang butiran kapas kecil yang mulai menggunung di sepanjang jalan setapak dan berputar-putar di wajahku. "Uuuh." Salju. Hilang sudah hari baikku. Mike tampak terkejut. "Tidakkah kau suka salju?" "Tidak. Itu berarti terlalu dingin untuk hujan." Jelas. "Selain itu, kupikir seharusnya salju turun dalam kepingan—tahu kan, masing-masing bentuknya unik dan sebagainya. Ini sih hanya kelihatan seperti ujung cotton bud" "Kau pernah melihat salju tidak sih?" tanyanya heran. "Tentu saja pernah." Aku terdiam. "Di TV.” Mike tertawa. Lalu bola salju besar dan lembut menghantam bagian belakang kepalanya. Kami berbalik untuk melihat dari mana asalnya. Aku curiga itu perbuatan Eric, yang berjalan menjauh memunggungi kami—dan bukannya menuju kelasnya. Sepertinya Mike memiliki dugaan yang sama. Ia membungkuk dan mulai membentuk bola putih. "Kita ketemu lagi saat makan siang oke?" aku berkata sambil terus berjalan. "Begitu orang-orang mulai melemparkan bola-bola basah itu, aku langsung masuk." Mike hanya mengangguk, matanya tertuju pada sosok Eric yang semakin menjauh. Sepagian itu semua orang membicarakan salju dengan perasaan senang; rupanya ini salju pertama di tahun baru. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tentu saja lebih kering daripada hujan—sampai saljunya mencair di kaus kakimu. Aku berjalan waspada menuju kafetaria bersama Jessica seusai kelas bahasa Spanyol. Bola-bola salju melesat di mana-mana. Aku memegang binder di tanganku, siap menggunakannya sebagai pelindung bila diperlukan. Jessica menganggapku konyol, tapi sesuatu pada ekspresiku menahannya untuk tidak melemparkan bola salju ke arahku. Mike menghampiri ketika kami sampai ke pintu. Ia tertawa, gumpalan es meleleh di rambutnya. Ia dan Jessica bicara penuh semangat tentang perang salju ketika kami antre membeli makanan. Di luar kebiasaan aku memandang sekilas ke meja di pojok. Lalu aku berdiri mematung. Ada lima orang di meja itu. Jessica menarik lenganku. "Halo? Oik? Kau mau apa?" Aku menunduk; telingaku panas. Aku tak punya alasan untuk merasa malu, aku mengingatkan diriku sendiri. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah. "Oik kenapa sih?" Mike bertanya pada Jessica. "Tidak apa-apa," jawabku. "Hari ini aku minum soda saja.” Aku berjalan pelan ke ujung antrean. "Kau tidak lapar?" tanya Jessica. "Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan,” kataku, mataku masih tertuju ke lantai. Aku menunggu Mike dan Jessica mengambil makanan mereka, lalu mengikuti mereka ke meja, mataku menatap ke bawah. Aku menghirup sodaku pelan-pelan, perutku keroncongan. Dua kali Mike menanyakan keadaanku, dengan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu. Kukatakan aku baik-baik saja, tapi dalam hati berpikir apakah sebaiknya aku bersandiwara saja dan menyembunyikan diri di UKS selama satu jam ke depan. Konyol. Aku seharusnya tak perlu melarikan diri. Aku memutuskan untuk melirik sekali lagi ke meja tempat keluarga Cullen berada. Kalau ia menatapku, aku akan bolos kelas Biologi, seperti pengecut. Aku terus menunduk dan mengintip sekilas dari balik bulu mataku. Tak satu pun dari mereka melihat ke arahku. Aku sedikit mengangkat kepala. Mereka sedang tertawa. Cakka, Jasper, dan Emmett, rambut mereka berlumur salju yang meleleh. Alice dan Rosalie menjauhkan diri ketika Emmett mengibaskan rambutnya yang basah ke arah mereka. Mereka menikmati hari bersalju, seperti anak-anak lainnya—hanya saja mereka lebih mirip adegan film ketimbang kami. Tapi terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada sesuatu yang berbeda, dan aku tak dapat mengatakan dengan pasti apa itu. Aku mengamati Cakka dengan sangat saksama. Warna kulitnya sudah tidak terlalu pucat—barangkali memerah akibat perang-perangan salju—lingkaran di bawah matanya juga sudah tidak terlalu kentara. Tapi ada sesuatu. Aku memikirkannya lagi sambil memandangi mereka, berusaha menemukan perubahan itu. “Kau sedang menatap apa, Oik?" Jessica membuyarkan lamunanku, matanya mengikuti arah pandanganku. Pada saat bersamaan mata Cakka bersirobok dengan mataku. Aku menunduk, kubiarkan rambutku terurai menutupi wajah. Meski begitu aku yakin, saat sekilas mata kami beradu pandang itu, ia tidak terlihat kasar atau tak bersahabat seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Ia hanya kelihatan penasaran, seperti tidak puas. "Cakka Cullen menatapmu," Jessica berbisik di telingaku sambil cekikikan. "Dia tidak kelihatan marah, ya kan?" Aku tak bisa menahan diri. "Tidak," kata Jessica, terdengar bingung dengan pertanyaanku. "Apakah seharusnya dia marah?" "Sepertinya dia tidak suka padaku," kataku jujur. Aku masih gelisah. Kutelungkupkan kepalaku di tangan. "Keluarga Cullen tidak menyukai siapa pun... Well, mereka memang tidak memedulikan siapa-siapa. Tapi dia masih memandangimu." "Sudah, jangan dilihat lagi," desisku. Jessica mendengus, tapi ia toh mengalihkan pandangan. Kuangkat kepalaku sedikit untuk memastikan, dan bermaksud mengancamnya kalau ia menolak. Lalu Mike menyela kami—ia merencanakan perang salju di lapangan parkir seusai jam sekolah dan ingin kami bergabung. Dengan penuh semangat Jessica menyetujuinya. Dari caranya menatap Mike, aku ragu ia akan menolak apa pun yang disarankan cowok itu. Aku diam saja. Aku harus bersembunyi di gimnasium sampai lapangan parkir sepi. Selama sisa waktu makan siang dengan sangat hati-hati kuarahkan pandanganku ke mejaku sendiri. Kuputuskan untuk melaksanakan ideku tadi. Berhubung ia tidak kelihatan marah, aku akan ikut pelajaran Biologi. Perutku sedikit mulas ketika membayangkan akan duduk bersebelahan lagi dengannya. Aku benar-benar tak ingin berjalan ke kelas bareng Mike seperti biasa—sepertinya ia sasaran empuk para pelempar bola salju—tapi ketika kami berjalan menuju kelas, semua orang kecuali aku serempak mengeluh. Hujan turun, membuat salju di sepanjang jalan setapak mencair. Aku menaikkan tudung jaket, menyembunyikan perasaan senangku. Artinya aku bebas, bisa langsung pulang setelah kelas Olahraga. Mike terus mencerocos, dan mengeluh sepanjang perjalanan menuju gedung empat. Begitu tiba di kelas, aku lega karena mejaku masih kosong. Mr. Banner sedang berjalan mengelilingi kelas, membagikan mikroskop dan sekotak slide untuk masingmasing meja. Selama beberapa menit pelajaran belum juga dimulai, dan ruangan langsung bergema dengan anak-anak yang mengobrol. Aku terus menjauhkan pandangan dari pintu, iseng-iseng menggambari sampul buku catatanku. Aku mendengar sangat jelas ketika kursi di sebelahku bergeser, tapi mataku tetap terarah pada gambarku. "Halo," kudengar suara merdu dan tenang. Aku mendongak, terkejut karena Cakka-lah yang sedang berbicara padaku. Ia duduk sejauh mungkin hingga ke ujung meja, tapi kursinya diarahkan padaku. Air menetes dari rambutnya, berantakan—meski begitu ia terlihat seperti baru saja selesai syuting iklan gel rambut. Wajahnya yang memesona tampak bersahabat, senyum tipis mengembang di bibirnya yang sempurna. Tapi matanya tampak hati-hati. "Namaku Cakka Cullen," lanjutnya. "Aku tidak sempat memperkenalkan diri minggu lalu. Kau pasti Oik Swan." Saking bingungnya, kepalaku sampai pusing. Apakah aku selama ini berkhayal? Sekarang ia sangat sopan. Aku harus bicara; ia menunggu. Tapi aku tak bisa mengatakan apa pun yang wajar. “B-bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku terbata-bata. Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan. "Oh, kurasa semua orang tahu namamu. Seluruh kota telah menanti-nantikan kedatanganmu.” Aku nyengir. Sudah kuduga jawabannya akan seperti ini. "Tidak" bantahku bodoh. "Maksudku, kenapa kau memanggilku Oik?" Ia tampak bingung. "Kau mau dipanggil IsaOik?" "Tidak, aku lebih suka Oik," kataku. "Tapi kupikir Charlie—maksudku ayahku—pasti memanggilku IsaOik di belakangku—pasti itulah yang diketahui orang-orang di sini," aku mencoba menjelaskan, benar-benar merasa seperti orang bodoh. "Oh." Ia tidak meneruskan. Aku memalingkan wajah malu-malu. Untungnya Mr. Banner memulai pelajaran saat itu juga. Aku mencoba berkonsentrasi mendengarkan saat ia menjelaskan tentang percobaan yang akan kami lakukan hari ini. Slide di kotak tak dapat digunakan. Bersama partner masing-masing, kami harus memisahkan slide akar bawang merah menjadi tahapan mitosis yang mereka representasikan dan memberi label sesuai identitas mereka. Kami tidak diperbolehkan membaca buku. Dalam dua puluh menit ia akan berkeliling untuk melihat siapa yang melakukannya dengan benar. "Mulai," perintahnya. "Kau duluan, partner?" tanya Cakka. Aku mengangkat kepala dan kulihat ia tersenyum lebar begitu menawannya sampai-sampai aku hanya memandanginya seperti orang idiot. "Atau aku bisa memulainya kalau kau mau." Senyum itu memudar; jelas ia mengira aku tidak kompeten melakukannya. "Tidak," kataku, wajahku merah padam. "Aku akan memulainya." Aku memamerkan kemampuanku, hanya sedikit. Aku pernah melakukan percobaan ini, dan tahu apa yang kucari. Seharusnya mudah. Aku menaruh slide pertama di bawah mikroskop dan langsung menyesuaikan pembesarannya menjadi 40X. Kupelajari slide-nya sebentar. Aku yakin dengan pengamatanku. "Profase." "Boleh aku melihatnya?" pintanya ketika aku mulai memindahkan slide-nya. Cakka mencoba menghentikannya dengan memegang tanganku. Jari-jarinya dingin bagai es, seolah ia baru saja menggenggam tumpukan salju sebelum kelas dimulai. Tapi bukan itu yang membuatku buru-buru menarik tangan. Ketika ia menyentuhku, jarinya menyengatku bagai aliran listrik. "Maaf," gumamnya pelan, langsung menarik tangannya. Bagaimanapun, ia tetap meraih mikroskop. Meski masih kaget, aku memerhatikannya mengamati slide lebih cepat daripada yang kulakukan tadi. "Profase," ia setuju, dan menuliskannya dengan rapi pada halaman pertama lembar kerja kami. Ia langsung mengganti slide pertama dengan yang kedua, lalu melihatnya sepintas lalu. “Anafase," gumamnya, sambil menulis. Aku berusaha terdengar tak peduli. "Boleh kulihat?" Ia tertawa mengejek, dan mendorong mikroskop ke arahku. Aku mengamati lewat lubang mikroskop dengan penasaran, dan merasa kecewa karena dugaanku salah. Sial, ia benar. “Slide tiga?" Kuulurkan tanganku tanpa memandangnya. Ia menyerahkannya padaku; sepertinya berhati-hati agar tidak menyentuhku lagi. Aku berusaha mengenalinya secepat aku bisa. “Interfase." Aku mengoper mikroskop sebelum ia memintanya. Ia mengintip sebentar, lalu menuliskannya. Aku bisa saja menuliskannya ketika ia sedang mengamati, tapi tulisannya yang jelas dan rapi membuatku minder. Aku tak ingin merusak lembar kerja kami dengan tulisan cakar ayamku. Kami selesai duluan. Aku bisa melihat Mike dan partnernya membandingkan dua slide lagi dan lagi, dan kelompok lain membuka buku di bawah meja. Aku tak punya pilihan lain kecuali memandangnya. Aku mendongak, dan ia sedang menatapku, pandangan frustrasi dan misterius yang sama. Tiba-tiba aku menemukan perbedaan yang tak terkatakan selama ini di wajahnya. "Kau memakai lensa kontak, ya?" kataku tanpa berpikir. Ia tampak bingung dengan pertanyaanku yang tak terduga itu. "Tidak." "Oh," gumamku. "Kupikir ada yang berbeda dengan matamu.” Ia mengangkat bahu dan memalingkan wajah. Sebenarnya aku yakin ada sesuatu yang berbeda. Aku ingat jelas warna hitam kelam matanya ketika terakhir kali melihatnya—warna itu sangat kontras dengan kulit pucat dan rambutnya yang cokelat kemerahan. Hari ini warna matanya benar-benar berbeda: cokelat kekuningan yang aneh, lebih gelap dari mentega, tapi dengan nuansa keemasan yang sama. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu, kecuali ia berbohong tentang lensa kontaknya. Atau barangkali Forks membuatku sinting dalam artian sebenarnya. Aku menunduk. Tangannya mengepal lagi. Lalu Mr. Banner menghampiri meja kami, untuk melihat mengapa kami tak melakukan apa-apa. Ia melihat dari balik bahu, menatap percobaan yang sudah selesai, lalu melihat lebih serius untuk memeriksa jawaban kami. "Jadi, Cakka, tidakkah kaupikir IsaOik perlu diberi kesempatan menggunakan mikroskop?" tanya Mr. Banner. "Oik," Cakka meralat ucapan Mr. Banner. "Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima slide itu." Sekarang Mr. Banner menatapku; ekspresinya skeptis. "Apa kau pernah melakukan percobaan ini sebelumnya?" tanyanya. Aku tersenyum malu-malu. "Tidak dengan akar bawang merah." "Whitefish blastula?” "Yeah." Mr. Banner mengangguk. "Apa kau masuk kelas khusus di Phoenix?" "Ya." "Well" katanya setelah beberapa saat. "Kupikir kalian cocok menjadi partner." Ia menggumamkan sesuatu lagi sambil berlalu. Setelah ia pergi, aku mulai mencoret-coret buku catatanku. "Sayang sekali turun salju, ya kan?" Cakka bertanya. Aku punya perasaan ia terpaksa bercakap-cakap denganku. Ketakutan kembali menyelimutiku. Seolah-olah ia telah mendengar percakapanku dengan Jessica saat makan siang tadi dan berusaha membuktikan aku salah. “Tidak juga," jawabku jujur, dan bukannya berpura-pura normal seperti yang lain. Aku masih berusaha menyingkirkan kecurigaan yang tolol ini, dan aku tak bisa berkonsentrasi. “Kau tidak suka dingin." Itu bukan pertanyaan. "Atau basah." "Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu," ujarnya melamun. "Kau tak tahu bagaimana rasanya." gumamku dingin. Ia tampak terpesona oleh perkataanku, entah untuk alasan apa, aku tak bisa membayangkannya. Wajahnya tampak sangat putus asa hingga aku berusaha untuk tidak memandangnya melebihi batas kesopanan seharusnya. "Lalu kenapa kau datang ke sini?" Tak seorang pun menanyakan itu padaku—tidak blakblakan seperti dirinya, begitu menuntut jawaban. "Jawabannya— rumit." "Rasanya aku bisa mengerti," desaknya. Lama aku diam, lalu membuat kesalahan dengan beradu pandang dengannya. Mata keemasannya yang gelap membuatku bingung dan aku menjawab tanpa berpikir. "Ibuku menikah lagi," kataku. "Itu tidak terdengar terlalu rumit," bantahnya, tapi tibatiba ia terlihat bersimpati. "Kapan itu terjadi?" “September lalu." Suaraku terdengar sedih, bahkan untukku sendiri. “Dan kau tak menyukainya," Cakka mencoba menebak, suaranya masih ramah. "Tidak, Phil baik. Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik." "Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?" Aku tak bisa mengerti ketertarikannya, tapi ia terus menatapku dengan pandangan menusuk, seolah kisah hidupku yang membosankan entah mengapa sangat penting. "Phil sering bepergian. Dia pemain bola." Aku setengah tersenyum. "Apakah dia terkenal?" tanyanya, balas tersenyum. "Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal. Benar-benar liga kecil. Dia sering berpindah-pindah." "Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya dia bisa bepergian dengannya." Lagi-lagi ia melontarkan dugaan, bukan pertanyaan. Dahiku mengerut. "Tidak, dia tidak mengirimku ke sini. Aku sendiri yang mau." Alisnya bertaut. "Aku tak mengerti," katanya, dan ia tampak bingung tanpa sebab mendengar kenyataan ini. Aku menghela napas. Kenapa aku menjelaskan semua ini padanya? Ia terus menatapku penasaran. "Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil. Ini membuatnya tidak bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih berkualitas bersama Charlie." Suaraku terdengar muram ketika selesai bercerita. "Tapi sekarang kau tidak bahagia," ujarnya. "Terus?" tantangku. "Itu tidak adil." Ia mengangkat bahu, namun tatapannya masih tajam. Aku tertawa sinis. "Tidakkah ada yang pernah memberitahumu? Hidup tidak adil." "Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat sebelum ini," timpalnya datar. "Ya sudah, itu saja," kataku, bertanya-tanya kenapa ia masih memandangiku seperti itu. Tatapannya berubah menilai. "Kau pandai berpurapura,” katanya pelan. "Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kauperlihatkan pada orang lain." Aku nyengir, menahan keinginan untuk menjulurkan lidahku seperti anak lima tahun, lalu memalingkan wajah. "Apa aku salah?" Aku mencoba mengabaikannya. "Kurasa tidak." gumamnya puas. "Kenapa ini penting buatmu?" tanyaku jengkel. Aku terus menghindari pandangannya, mengawasi Mr. Banner yang sedang berkeliling. "Pertanyaan yang sangat bagus,” ujarnya, teramat pelan hingga kupikir ia sedang berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimanapun setelah hening sebentar aku memutuskan itu satu-satunya jawaban yang bisa kudapat. Aku menghela napas, memandang marah ke papan tulis. "Apa aku mengganggumu?" tanya Cakka. Ia terdengar senang. Aku memandangnya tanpa berpikir... dan sekali lagi mengatakan yang sebenarnya. "Tidak juga. Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku sangat mudah ditebak— ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Wajahku merengut. "Kebalikannya, aku malah sulit menebakmu." Terlepas dari semua yang kukatakan dan diduganya, ia terdengar bersungguh-sungguh. “Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang,” balasku. "Biasanya." Ia tersenyum lebar, memamerkan sederet gigi putih yang sempurna. Mr. Banner menyuruh murid-murid tenang, dan aku berbalik lega untuk mendengarkan. Aku tak percaya telah menceritakan kehidupanku yang membosankan pada cowok aneh namun tampan ini, yang mungkin membenciku atau tidak. Ia tampak menikmati percakapan kami, tapi sekarang bisa kulihat, dari sudut mataku, bahwa ia menjauh lagi dariku, tangannya dengan tegang mencengkeram ujung meja. Aku berusaha terlihat menyimak ketika Mr. Banner menjelaskan dengan menggunakan transparasi OHP, tentang apa yang telah kulihat tanpa kesulitan lewat mikroskop. Tapi aku tak bisa mengumpulkan pikiranku. Ketika bel akhirnya berbunyi, Cakka langsung meninggal kan kelas dengan gerakan anggun seperti yang dilakukannya Senin lalu. Dan seperti Senin lalu, aku memandangi kepergiannya dengan terkagum-kagum. Mike dengan cepat melompat ke sisiku dan merapikan buku-bukuku. Aku membayangkannya dengan ekor bergoyang-goyang. "Itu buruk sekali," erangnya. "Semua isi slide itu mirip. Kau beruntung berpasangan dengan Cullen." "Gampang saja buatku," kataku, terkejut mendengar ucapannya. Aku langsung menyesal. "Aku pernah melakukan percobaan ini, itu saja," lanjutku sebelum perasaannya terluka. "Cullen tampak cukup ramah hari ini," ia berkomentar ketika kami mengenakan jas hujan. Mike tidak tampak senang. Aku berusaha terdengar kasual. "Aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya Senin lalu." Aku tak sanggup menyimak celotehan Mike sepanjang perjalanan menuju gimnasium, dan pelajaran Olahraga tidak terlalu menarik perhatianku. Mike satu tim denganku hari ini. Ia mau berbaik hati menggantikan posisiku sekaligus menjalankan posisinya, sehingga lamunanku hanya terusik ketika aku mendapat giliran melakukan serve. Anggota timku dengan hati-hati menghindar setiap kali giliranku tiba. Hujan hanya rintik-rintik ketika aku berjalan ke lapangan parkir, tapi aku merasa lebih gembira setelah berada di trukku yang kering. Kunyalakan mesin penghangat, sekali ini tak memedulikan suara mesin yang meraung-raung. Aku membuka jaket, melepas tudungnya, dan menggeraikan rambut lembabku agar mengering dalam perjalanan pulang. Aku memandang sekelilingku memastikan tak ada siapasiapa. Saat itulah aku menangkap sosok pucat yang diam tak bergerak itu. Cakka Cullen sedang bersandar di pintu depan Volvo, yang jaraknya tiga mobil dariku, matanya menatapku lekat-lekat. Aku langsung mengalihkan pandangan dan memundurkan truk, begitu terburu-buru hingga nyaris menabrak sebuah Toyota Corolla berkarat. Toyota itu beruntung, aku menginjak rem tepat pada waktunya. Trukku jenis penghancur. Aku menarik napas panjang, masih melihat ke sisi lain mobil, dan berhati-hati mundur lagi, kali ini lebih baik. Aku memandang lurus ke depan ketika melewati Volvo itu, namun sekilas aku bersumpah melihatnya tertawa.

twilight part 1


1. PANDANGAN PERTAMA

IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23° C langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka. Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington, sebuah kota kecil bernama Forks berdiri di bawah langit yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota terpencil ini hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Amerika Serikat. Dari kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, ibuku melarikan diri bersamaku ketika aku baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku telah dipaksa menghabiskan satu bulan setiap musim panas sampai aku berusia empat belas tahun. Ketika itulah aku akhirnya mengambil keputusan tegas; dan sebagai gantinya selama tiga musim panas terakhir ini, ayahku, Riko, berlibur bersamaku di California selama dua minggu. Ke kota Forks-lah sekarang aku mengasingkan diri – keputusan yang kuambil dengan ketakutan yang amat sangat. Aku benci Forks. Aku mencintai Phoenix. Aku mencintai matahari dan panasnya yang menyengat. Aku mencintai kotanya yang dahsyat dan megah. "Oik," ibuku berkata—untuk terakhir kali dari ribuan kali ia mengatakannya—sebelum aku naik pesawat. "Kau tidak perlu melakukan ini.” Ibuku mirip aku, kecuali rambut pendek dan garis usia di sekeliling bibir dan matanya. Aku merasa sedikit panik saat menatap mata kekanak-kanakannya yang lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan konyol ini sendirian? Tentu saja sekarang ia bersama Phil, jadi ada yang membayar tagihan-tagihannya, akan ada makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan bakar, dan ada orang yang bisa diteleponnya bila ia tersesat, tapi tetap saja... "Aku ingin pergi," aku berbohong. Aku tak pernah pandai berbohong tapi aku telah mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar meyakinkan. "Sampaikan salamku buat Riko." "Akan kusampaikan." "Sampai ketemu lagi," ibuku berkeras. "Kau bisa pulang kapan pun kau mau—aku akan segera datang begitu kau membutuhkanku." Tapi di matanya bisa kulihat pengorbanan di balik janji itu. "Jangan khawatirkan aku," pintaku. "Semua akan baikbaik saja. Aku sayang padamu, Mom." Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian aku naik ke pesawat, dan ia pun pergi. Makan waktu empat jam untuk terbang dari Phoenix ke Seattle, satu jam lagi menumpang pesawat kecil menuju Port Angeles, lalu saru jam perjalanan darat menuju Forks. Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam mobil bersama Riko-lah yang agak kukhawatirkan. Secara keseluruhan Riko lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya tulus, ketika untuk pertama kali aku datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa lama. Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku mendapatkan kendaraan pribadi. Tapi tentu saja saat-saat bersama Riko terasa canggung. Kami sama-sama bukan tipe yang suka bicara, dan aku juga tak tahu harus bilang apa. Aku tahu ia agak bingung karena keputusanku—sebab seperti ibuku, aku juga tidak menyembunyikan ketidaksukaanku pada Forks. Ketika aku mendarat di Port Angeles, hujan turun. Aku tidak melihatnya sebagai pertanda—hanya sesuatu yang tak terelakkan. Lagi pula aku telah mengucapkan selamat tinggal pada matahari. Riko menungguku di mobil patrolinya. Yang ini pun sudah kuduga. Riko adalah Kepala Polisi Swan bagi orang-orang baik di Forks. Tujuan utamaku di balik membeli mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah karena aku menolak diantar berkeliling kota dengan mobil yang ada lampu merah-biru di atasnya. Tak ada yang membuat laju mobil berkurang selain polisi. Riko memelukku canggung dengan satu lengan ketika aku menuruni pesawat. "Senang bisa ketemu denganmu, Oik," katanya, tersenyum ketika spontan menangkap dan menyeimbangkan tubuhku. "Kau tak banyak berubah. Bagaimana Sivia?" "Mom baik-baik saja. Aku juga senang ketemu kau, Dad." Aku tidak diizinkan memanggilnya Riko bila bertemu muka. Aku hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian Arizona-ku tidak cocok untuk dipakai di Washington. Ibuku dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami miliki untuk melengkapi pakaian musim dinginku, tapi tetap saja ke-lewat sedikit. Barang bawaanku muat begitu saja di bagasi mobil patroli Dad. "Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benarbenar murah," ujarnya ketika kami sudah berada di mobil. "Mobil jenis apa?" Aku curiga dengan caranya mengatakan "mobil bagus buatmu", seolah itu tidak sekadar "mobil bagus". "Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy." "Di mana kau mendapatkannya?" "Kauingat Billy Black di La Push?" La Push adalah reservasi Indian kecil di pantai. "Tidak." "Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim panas," Riko menambahkan. Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan menyakitkan dari ingatanku. "Sekarang dia menggunakan kursi roda," Riko melanjutkan ketika aku diam saja, "jadi dia tak bisa mengemudi lagi dan menawarkan truknya padaku dengan harga murah." "Keluaran tahun berapa?" Dari perubahan ekspresinya aku tahu ia berharap aku tidak pernah melontarkan pertanyaan ini. “Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik— umurnya baru beberapa tahun kok, sungguh." Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku memercayai kata-katanya dengan mudah. "Kapan dia membelinya?" "Rasanya tahun 1984." "Apa waktu dibeli masih baru?" "Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal '60-an— atau setidaknya akhir '50-an," Dad mengakui malu-malu. "Ch—Dad, aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan aku tidak sanggup membayar montir..." "Sungguh, Oik, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi sekarang." Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek sebagai nama panggilan. "Seberapa murah yang Dad maksud?" Bagaimanapun aku tidak bisa berkompromi soal yang satu ini. "Well, Sayang aku sebenarnya sudah membelikannya untukmu. Sebagai hadiah selamat datang." Riko melirikku dengan ekspresi penuh harap. Wow. Gratis. "Kau tak perlu melakukannya, Dad. Aku berencana membeli sendiri mobilku." "Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini." Ia memandang lurus ke jalan saat mengatakannya. Riko merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Aku mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus ke depan ketika menjawab. "Asyik, Dad. Trims. Aku sangat menghargainya." Tak perlu kutambahkan bahwa aku tak mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku tak pernah meminta truk gratis—atau mesin. "Well. sama-sama kalau begitu," gumamnya, tersipu oleh ucapan terima kasihku. Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya kami memandang ke luar jendela dalam diam. Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau: pepohonan dengan batangbatang tertutup lumut, kanopi di antara cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring di antara dedaunannya yang hijau. Terlalu hijau—sebuah planet yang asing. Akhirnya kami tiba di rumah Riko. Ia masih tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruku—Well, baru buatku. Truk itu berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kautemukan di lokasi kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya. "Wow, Dad, aku suka! Trims!" Sekarang hari-hari menakutkan yang akan menjelang takkan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan dua mil ke sekolah hujan-hujan ataukah menumpang mobil patroli polisi. "Aku senang kau menyukainya," kata Riko parau, sekali lagi merasa malu. Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barangbarangku ke atas. Aku mendapat kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, langit-langit lancip, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa kecilku. Satu-satunya pembahan yang dibuat Riko adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung pada kabel telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi goyang dari masa bayiku masih ada di sudut. Hanya ada satu kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya dengan Riko. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan keadaan itu. Salah satu hal terbaik tentang Riko adalah, ia tidak pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi. Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357—sekarang 358; sementara murid SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus orang. Semua murid di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan jadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang aneh. Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix. Tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada di mana pun. Aku harus berkulit cokelat, sporty, pirang—pemain voli, atau pemandu sorak mungkin—segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari. Sebaliknya aku malah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau rambut merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing tapi lembek, jelas bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga tanpa mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta siapa pun di dekatku. Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening nyaris transparan— tapi semua itu tergantung warna. Di sini aku tidak memiliki warna. Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang kesempatan apa yang kupunya di sini? Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang terdekat denganku dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadangkadang aku membayangkan apakah aku melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin ada masalah dengan otakku. Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah akibatnya. Dan esok baru permulaannya. Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut tua itu menutupi kepala, kemudian menambahkan bantalbantal. Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis. Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa kurasakan klaustrofobia merayapi tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat langit, seperti di kandang. Sarapan bersama Riko berlangsung hening. Ia mendoakan supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterima kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan selalu menjauhiku. Riko berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya. Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di salah satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang serta lantai linoleumnya yang putih. Tak ada yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu ibuku mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit kecerahan di rumah. Di atas perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak berderet foto-foto. Yang pertama foto pernikahan Riko dan ibuku di Las Vegas, kemudian foto kami di rumah sakit setelah aku lahir yang diambil oleh seorang perawat, diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu melihatnya— aku harus mencari cara supaya Riko mau memindahkannya ke tempat lain. setidaknya selama aku tinggal di sini. Rasanya mustahil berada di rumah ini, dan tidak menyadari bahwa Riko belum bisa melupakan ibuku. Itu membuatku tidak nyaman. Aku tak mau terburu-buru ke sekolah, tapi aku tak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan. Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika meraih kunci rumah yang selalu disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya. Suara decitan sepatu bot antiairku yang baru membuatku takut. Aku merindukan bunyi keretakan kerikil saat aku berjalan. Aku tak bisa berhenti dan mengagumi trukku lagi seperti yang kuinginkan; aku sedang terburu-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku di balik tudung jaket. Di dalam truk nyaman dan kering. Entah Billy atau Riko pasti telah membersihkannya, tapi dari jok berlapis kulit cokelat itu samar-samar masih tercium bau tembakau, bensin, dan peppermint. Mesinnya langsung menyala, dan aku lega dibuatnya, tapi derunya keras sekali. Yah, truk setua ini pasti memiliki kekurangan. Radio antiknya masih berfungsi, nilai tambah yang tak terduga. Menemukan letak sekolah tidaklah sulit, meskipun aku belum pernah ke sana. Bangunan sekolah, seperti kebanyakan bangunan lainnya, letaknya tak jauh dari jalan raya. Tidak langsung ketahuan itu sekolah sih; hanya papan namanya yang menyatakan bangunan itu sebagai SMA Forks, yang membuatku berhenti. Bangunannya seperti sekumpulan rumah serasi, dibangun dengan batu bata warna marun. Ada banyak sekali pohon dan semak-semak sehingga awalnya aku tak bisa mengira-ngira luasnya. Di mana aura institusinya? Aku membayangkan sambil bernostalgia. Di mana pagar-pagar berantai dan pendeteksi logamnya? Aku parkir di depan bangunan pertama yang memiliki papan tanda kecil di atas pintu, bunyinya TATA USAHA. Tak ada yang parkir di sana, sehingga aku yakin itu daerah parkir khusus. Tapi aku memutuskan akan bertanya di dalam, daripada berputar-putar di bawah guyuran hujan seperti orang tolol. Dengan enggan aku melangkah keluar dari trukku yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan setapak dari bebatuan kecil berpagar warna gelap. Sebelum membuka pintu aku menghirup napas dalam-dalam. Di dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang kuharap. Kantornya kecil, ruang tunggunya dilengkapi kursi lipat berjok, karpet bersemburat Jingga, pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding sebuah jam dinding besar berdetak keras. Tanaman ada di mana-mana dalam pot plastik besar, seolah-olah pepohonan yang tumbuh rimbun di luar masih belum cukup. Ruangan itu dibagi dua oleh konter panjang berantakan karena keranjang-keranjang kawat penuh kertas. Pamflet-pamflet warna terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja di balik konter, salah satunya dihuni wanita bertubuh besar berambut merah yang mengenakan kacamata. Ia mengenakan T-shirt ungu, yang membuatku merasa pakaianku berlebihan. Wanita berambut merah itu mendongak. "Bisa kubantu?" “Aku Oik Swan," kataku. Kulihat matanya berkilat terkejut. Tak diragukan lagi, aku akan segera menjadi topik gosip. Putri mantan istri Kepala Polisi yang bertingkah akhirnya pulang. “Tentu saja," katanya. Ia mengaduk-aduk tumpukan dokumen di mejanya hingga menemukan yang dicarinya. “Ini jadwal pelajaranmu, dan peta sekolah." Ia membawa beberapa lembar ke meja konter dan memperlihatkannya padaku. Kemudian ia menjelaskan kelas-kelas yang harus kuambil, menerangkan rute terbaik menuju masing-masing kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang harus ditandatangani masing-masing guru. Pada akhir jam pelajaran nanti aku harus menyerahkannya kembali. Ia tersenyum dan berharap, seperti Riko, aku senang berada di sini di Forks. Aku balas tersenyum meyakinkan sebisaku. Ketika aku keluar lagi menuju truk, murid-murid lain berdatangan. Aku mengemudi mengelilingi sekolah, mengikuti barisan mobil-mobil lain. Aku senang mobilmobil lainnya juga sama tuanya seperti trukku, tak ada yang bagus. Di tempat asalku, aku tinggal di permukiman kelas bawah di distrik Paradise Valley. Melihat Mercedes baru atau Porsche di parkiran murid sudah biasa bagiku. Di sini, mobil terbagus adalah Volvo yang bersih mengilap, dan jelas mencolok. Tetap saja aku mematikan mesin begitu mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras tidak menarik perhatian. Aku mempelajari petanya di dalam truk, berusaha mengingatnya; berharap aku tak perlu berjalan sambil terus memeganginya seharian. Aku memasukkan semua ke tas, dan menyandangkan talinya di bahu, dan menarik napas panjang. Aku bisa melakukannya, aku setengah membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku. Akhirnya aku mengembuskan napas dan melangkah keluar truk. Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi remaja. Jaket hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya dengan perasaan lega. Begitu sampai di kafetaria, gedung tiga dengan mudah kutemukan. Angka "3" hitam besar dicat di kotak persegi putih di pojok sebelah timur. Aku mendapati napasku pelan-pelan berubah terengah-engah begitu mendekati pintunya. Aku berusaha menahan napas ketika mengikuti dua orang yang mengenakan jas hujan uniseks melewati pintu. Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di muka pintu untuk menggantungkan jas hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh mereka. Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang yang lain juga berkulit pucat, rambutnya cokelat muda. Setidaknya warna kulitku tidak bakal mencolok di sini. Aku menyerahkan lembaran tadi pada seorang guru, laki-laki tinggi botak yang di mejanya terdapat papan nama bertuliskan Mr. Mason. Ia melongo menatapku ketika melihat namaku—bukan respons yang membangun—dan tentu saja wajahku memerah seperti tomat. Tapi setidaknya ia menyuruhku duduk di meja kosong di belakang tanpa memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi teman-teman baruku untuk menatapku di belakang tapi entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Aku terus menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan guruku. Bacaan dasar: Bronte, Shakespeare, Chaucer, Faulkner. Aku sudah pernah membaca semuanya. Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan apakah ibuku mau mengirimkan folder esai-esai lamaku atau apakah menurut dia itu sama dengan menyontek. Aku berdebat dengannya dalam benakku sementara guru terus bicara. Ketika bel berbunyi, suaranya berupa gumaman sengau Seorang cowok ceking dengan kulit bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan berbicara padaku. "Kau Oik Swan, kan?" Ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong, tipe anggota klub catur. "Oik." aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga kursi berbalik menghadapku. "Habis ini kau masuk kelas apa?" tanyanya. Aku harus memeriksa dulu di dalam tasku. "Mmm, Pemerintahan, dengan Jefferson, di gedung enam." Aku tak bisa melihat ke mana pun tanpa beradu pandang dengan mata-mata penasaran. "Aku akan ke gedung empat, aku bisa menunjukkannya padamu..." Jelas tipe kelewat suka menolong. "Aku Eric," tambahnya. Aku tersenyum hati-hati. "Terima kasih." Kami mengambil jaket dan menerobos hujan, yang sudah reda. Aku berani bersumpah beberapa orang di belakang kami berjalan cukup dekat supaya bisa menguping. Kuharap aku tidak menjadi paranoid. “Jadi, ini sangat berbeda dengan Phoenix heh?" tanyanya. "Sangat". "Di sana tidak sering hujan, kan?" "Tiga atau empat kali setahun." “Wow, seperti apa rasanya?" Ia membayangkan. "Cerah," ujarku. "Kulitmu tidak terlalu cokelat." "Ibuku setengah albino." Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan selera humor tidak pernah selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, aku pasti sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis. Kami berjalan lagi mengitari kafetaria, ke gedung-gedung di sebelah selatan dekat gimnasium. Eric mengantarku sampai ke pintu, meskipun papan tandanya jelas. "Semoga berhasil," katanya ketika aku meraih gagang pintu. "Barangkali kita akan bertemu di kelas lain." Ia terdengar berharap. Aku tersenyum samar dan masuk. Sisa pagi itu berlalu kurang-lebih sama. Guru Trigonometriku, Mr. Varner, yang toh bakal kubenci juga karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah satusatunya yang menyuruhku berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Aku tergagap, wajahku merah padam, dan tersandung sepatu botku sendiri ketika menuju kursiku. Setelah dua pelajaran, aku mulai mengenali beberapa wajah di masing-masing kelas. Selalu ada yang lebih berani dari yang lain, yang memperkenalkan diri dan bertanya mengapa aku menyukai Forks. Aku mencoba berdiplomasi, tapi secara keseluruhan aku hanya berbohong. Setidaknya aku tidak pernah membutuhkan peta. Seorang gadis duduk di sebelahku baik di kelas Trigono dan bahasa Spanyol, dan ia berjalan menemaniku menuju kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih pendek daripada aku yang 160 senti, tapi rambut gelapnya yang sangat ikal berhasil menyamarkan perbedaan tinggi kami. Aku tak ingat namanya, jadi aku tersenyum dan mengangguk ketika ia mengoceh tentang guru-guru dan pelajarannya. Aku tak berusaha memerhatikannya. Kami duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa temannya. Ia memperkenalkanku pada mereka. Aku langsung lupa nama-nama mereka begitu ia mulai mengobrol dengan mereka. Mereka tampak kagum dengan keberaniannya berbicara denganku. Cowok dari kelas bahasa Inggris, Eric, melambai padaku dari seberang ruangan. Di sanalah, duduk di ruang makan siang berusaha memulai pembicaraan dengan tujuh orang asing yang penasaran, ketika aku pertama kali melihat mereka. Mereka duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari tempat dudukku. Mereka berlima. Mereka tidak bicara, juga tidak makan, meskipun di depan mereka masing-masing ada satu nampan makanan yang tak tersentuh. Mereka tidak terpana menatapku, tidak seperti kebanyakan murid lainnya, jadi rasanya aman memandangi mereka tanpa takut bakal beradu pandang dengan sepasang mata yang kelewat penasaran. Tapi bukan ini yang menarik perhatianku. Mereka tidak terlihat seperti yang lain. Dari tiga cowok yang saru bertubuh besar—berotot seperti atlet angkat besi profesional, rambutnya gelap ikal. Yang lain lebih tinggi, lebih langsing tapi juga berotot dan rambutnya pirang keemasan. Yang terakhir kurus dengan rambut berwarna perunggu yang berantakan. Ia lebih kekanakan daripada yang dua lagi, yang kelihatannya sudah kuliah, atau bahkan bisa jadi guru di sini dan bukannya murid. Yang cewek-cewek kebalikannya. Yang jangkung tatapannya dingin. Tubuhnya indah, seperti yang kalian lihat di sampul Sports Illustrated edisi pakaian renang, sosok yang membuat setiap cewek di dekatnya tidak percaya diri hanya dengan berada di ruangan yang sama. Rambutnya keemasan, tergerai lembut di punggung. Gadis yang bertubuh pendek seperti peri. sangat kurus, perawakannya mungil. Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dan lancip-lancip. Namun toh mereka sama persis. Mereka pucat pasi, paling pucat dari semua murid yang hidup di kota tanpa matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si albino. Mata mereka sangat gelap, begitu kontras dengan warna rambut mereka. Mereka juga memiliki kantong mata—keunguan, memar seperti bayangan. Seolah-olah mereka melewati malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir sembuh dari patah hidung. Terlepas dari hidung mereka, semua garis tubuh mereka lurus, sempurna, kaku. Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa berpaling. Aku memandangi mereka karena wajah mereka begitu berbeda, namun sangat mirip, semuanya luar biasa, keindahan yang memancarkan kekejaman. Mereka wajahwajah yang tak pernah kauharapkan bakal kaulihat kecuali di halaman majalah fashion. Atau dilukis seorang pelukis ahli sebagai wajah malaikat. Sulit memutuskan siapa yang paling indah—mungkin cewek berambut pirang yang sempurna itu, atau si cowok berambut perunggu. Mereka semua mengalihkan pandangan—dari satu sama lain, dari murid-murid lain, dari segala sesuatu sejauh yang kulihat. Ketika aku memerhatikan, si cewek mungil bangkit membawa nampan—kaleng sodanya belum dibuka, apelnya masih utuh—dan berlalu sambil melompat cepat dan indah. Gerakan yang bisa dilakukan di landas pacu. Aku terus mengawasinya, mengagumi langkah luwesnya yang bagai penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat nampan kotor dan melayang lewat pintu belakang lebih cepat dari yang kupikir mungkin dilakukannya. Mataku tertuju kembali ke yang lain, yang sama sekali tak beranjak. “Siapa mereka?” aku bertanya pada cewek dari kelas bahasa Spanyol-ku, yang aku lupa namanya. Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang kumaksud—meskipun dari nada suaraku barangkali ia sudah tahu—tiba-tiba salah satu cowok dari kelompok itu memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus dan berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda. Ia melihat ke cewek di sebelahku hanya beberapa detik, lalu matanya yang gelap mengerjap ke arahku. Ia berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa kulakukan, meskipun karena malu aku langsung menunduk saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan—seolah temanku telah menyebut namanya, dan ia memandang sebagai reaksi spontan, telah memutuskan untuk tidak menjawab. Gadis di sebelahku tertawa tersipu, menunduk memandangi meja seperti aku. "Itu Cakka dan Gabriel Cullen, serta Sivia dan Rio Hale. Yang baru saja pergi namanya Ify Cullen; mereka tinggal bersama dr. Cullen dan istrinya." Ia mengatakannya dengan berbisik. Aku melirik cowok tampan itu, yang sekarang sedang memandangi nampannya, mencubit-cubit bagelnya dengan jari-jari panjangnya yang pucat. Mulutnya bergerak sangat cepat, bibirnya yang sempurna nyaris tidak terbuka. Yang tiga lagi masih membuang muka, namun aku merasa ia berbicara diam-diam pada mereka. Nama-nama aneh yang tidak populer, pikirku. Namanama yang dimiliki generasi kakek-nenek. Tapi barangkali di sini nama-nama itu populer—khas nama-nama kota kecil? Aku akhirnya ingat cewek di sebelahku bernama Jessica, nama yang sangat umum. Di kelas Sejarah di sekolah tempat asalku, ada dua cewek bernama Jessica. "Mereka... sangat tampan dan cantik." Dengan susah payah aku menyatakan komentar yang mencolok itu. "Benar!" Jessica setuju seraya terkekeh lagi. "Dan mereka selalu bersama-sama— Gabriel dan Sivia, dan Rio dan Ify, maksudku. Dan mereka tinggal bersama-sama." Suaranya mewakili keterkejutan dan ketidaksetujuan kota kecil ini, pikirku kritis. Tapi kalau mencoba jujur, harus kuakui bahkan di Phoenix pun hal seperti itu akan menimbulkan gunjingan. "Yang mana di antara mereka yang bermarga Cullen?" tanyaku. "Mereka tidak kelihatan seperti satu keluarga..." "Oh, memang tidak. Dr. Cullen masih sangat muda, kirakira dua puluhan atau awal tiga puluhan. Mereka semua anak adopsi. Yang bermarga Hale adalah sepasang kembaran laki-laki dan perempuan—yang pirang—mereka anak angkat." "Mereka kelihatannya agak terlalu tua untuk menjadi anak angkat." "Sekarang memang. Rio dan Sivia umurnya delapan belas, tapi mereka sudah hidup bersama-sama Mrs. Cullen sejak masih delapan tahun. Mrs. Cullen bibi mereka atau seperti itulah." "Mereka baik sekali—mau memelihara semua anak-anak itu, ketika mereka masih kecil dan segalanya." "Kurasa begitu," ujar Jessica enggan, dan aku mendapat kesan ia tidak menyukai sang dokter dan istrinya untuk alasan tertentu. Dari caranya memandang anak-anak adopsi itu, aku menduga alasannya adalah iri. "Kurasa Mrs. Cullen tidak bisa punya anak," Jessica menambahkan, seolah-olah komentarnya mengurangi kebaikan hati mereka. Sepanjang percakapan mataku mengerjap lagi dan lagi ke meja tempat keluarga aneh itu duduk. Mereka terus memandang dinding dan tidak makan. "Apa mereka sejak dulu tinggal di Forks?" tanyaku Aku yakin pernah melihat mereka di salah satu kunjungan musim panasku di sini. "Tidak," kata Jessica, nadanya mengindikasikan bahwa itu seharusnya sudah jelas, bahkan bagi pendatang baru seperti aku. "Mereka baru saja pindah ke sini dua tahun yang lalu dari sekitar Alaska." Aku merasakan sebersit rasa iba, sekaligus lega. Iba karena betapapun cantik dan tampannya mereka, mereka adalah pendatang jelas tidak diterima. Dan lega karena aku bukan satu-satunya pendatang baru di sini, dan sudah pasti bukan yang paling menarik bila dilihat dari standar apa pun. Saat aku mengamati mereka, yang paling muda, salah satu yang bermarga Cullen, mendongak dan beradu pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa penasaran yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak olehku bahwa tatapannya mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan. "Cowok berambut cokelat kemerahan itu siapa?" tanyaku. Aku mengintip ke arahnya lewat sudut mata, dan ia masih menatapku, tapi tidak melongo seperti muridmurid lain seharian ini—ekspresinya sedikit gelisah. Aku kembali menunduk. "Itu Cakka. Dia tampan tentu saja, tapi jangan buangbuang waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak satu pun cewek di sini cukup cantik baginya." Jessica mendengus, sikapnya jelas pahit. Aku membayangkan kapan Cakka menampiknya. Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyumku. Lalu aku kembali memandang Cakka. Ia sudah memalingkan wajah, tapi rasanya pipinya seperti tertarik, seolah-olah ia juga tersenyum. Beberapa menit kemudian mereka berempat meninggalkan meja bersama-sama. Tak diragukan lagi mereka sangat anggun—bahkan yang bertubuh besar dan berotot. Aku kecewa menyaksikan kepergian mereka. Yang bernama Cakka tidak menoleh ke arahku lagi. Aku duduk di meja bersama Jessica dan teman-temannya lebih lama daripada kalau aku duduk sendirian. Aku tak ingin terlambat tiba di kelas pada hari pertamaku di sekolah. Salah satu kenalan baruku, yang dengan baik hati mau mengingatkan lagi bahwa namanya Angela, juga mengambil kelas Biologi II bersamaku pada jam berikutnya. Kami berjalan ke kelas bersama-sama tanpa bicara. Ia juga pemalu. Ketika kami memasuki kelas, Angela duduk di meja lab yang bagian atasnya berwarna hitam, persis yang dulu sering kutempati. Ia sudah punya teman sebangku. Malah sebenarnya semua meja telah terisi, kecuali satu yang masih kosong. Di sisi gang tengah, aku mengenali Cakka Cullen dari rambutnya yang tidak biasa, duduk di sebelah kursi yang kosong. Saat aku menyusuri gang untuk memperkenalkan diri kepada guru dan memintanya menandatangani kertasku, aku diam-diam memerhatikan Cakka. Ketika aku melewatinya, tiba-tiba duduknya jadi kaku. Ia menatapku lagi, mataku bertemu pandang dengan sepasang mata dengan ekspresi paling aneh—tidak bersahabat, gusar. Bergegas aku memalingkan wajah, terkejut, wajahku merah padam. Aku tersandung buku dan nyaris terjerembab hingga tanganku meraih ujung meja. Cewek yang duduk di situ terkekeh. Saat itulah aku memerhatikan bahwa matanya berwarna hitam—hitam legam. Mr. Banner menandatangani kertasku dan menyerahkan sebuah buku tanpa berbasa-basi tentang perkenalan. Bisa kukatakan kami bakal cocok. Tentu saja dia tak punya pilihan kecuali menyuruhku menempati kursi yang kosong di tengah kelas. Aku terus menunduk ketika menempatkan diriku di sisinya, bingung oleh tatapan antagonis yang dilemparkannya padaku. Tanpa mengangkat wajah, kuatur bukuku di meja lalu duduk, tapi dari sudut mata bisa kulihat posturnya berubah. Ia menjauh dariku, duduk di ujung kursi, memalingkan wajah seolah-olah mencium aroma yang tidak enak. Diamdiam aku mengendus rambutku. Aromanya seperti stroberi, aroma sampo kesukaanku. Sepertinya baunya cukup enak. Kubiarkan rambutku tergerai di bahu kanan, sebagai penghalang di antara kami, dan mencoba berkonsentrasi pada pelajaran. Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler, sesuatu yang sudah pernah kupelajari. Meski begitu aku tetap mencatat dengan teliti, dan selalu menunduk. Aku tak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat celah rambutku ke cowok aneh di sebelahku. Sepanjang pelajaran ia tak pernah duduk santai di ujung kursinya, sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat tangannya yang mengepal diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul di balik kulit pucatnya. Untuk yang satu ini, ia juga tak pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan berotot di balik kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatan sekurus itu ketika berdampingan dengan kakaknya yang berperawakan gagah dan besar. Pelajaran kali ini kelihatannya lebih lama daripada yang lain. Apa itu karena sekolah sudah hampir usai, atau karena aku sedang menunggu kepalan tangannya mengendur? Tangannya terus terkepal, ia duduk bergeming sampaisampai ia seolah-olah tidak bernapas. Apa yang salah dengannya? Apakah ini perilaku normalnya? Aku mempertanyakan penilaian Jessica yang ketus saat makan siang tadi. Barangkali cewek itu tidak sebenci yang kupikir. Tak mungkin ada hubungannya denganku. Ia sama sekali tak mengenalku. Sekali lagi aku mengintip, dan menyesalinya. Ia sedang menatapku, matanya yang hitam penuh rasa jijik. Ketika aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba frase bila rupa bisa membunuh melintas di benakku. Bel berbunyi keras, membuatku terperanjat. Cakka Cullen bangkit dari duduk. Dengan luwes ia berdiri—ia lebih tinggi daripada yang kukira—memunggungiku, dan ia sudah keluar dari pintu sebelum yang lain beranjak dari kursi mereka. Aku duduk membeku, menatapnya tak berkedip. Ia jahat sekali. Ini tidak adil. Perlahan-lahan aku mulai membereskan barang-barangku, mencoba mengenyahkan kemarahan yang menyelimutiku, sebab khawatir air mataku bakal menggenang. Untuk beberapa alasan emosiku melekat erat dengan saluran air mataku. Kalau marah aku biasanya menangis, kebiasaan memalukan. “Apa kau IsaOik Swan?" terdengar suara cowok bertanya. Aku mengangkat kepala dan melihat seorang cowok bertampang imut dan tampan, rambutnya yang pirang pucat di-gel membentuk spike yang teratur. Ia tersenyum ramah. Ia jelas tidak menganggap bauku tidak enak. “Oik," ralatku tersenyum. "Aku Mike." "Hai. Mike." “Kau butuh bantuan mencari kelasmu selanjutnya?" "Sebenarnya aku mau ke gimnasium. Kurasa aku bisa menemukannya." “Itu juga kelasku berikutnya." Ia tampak senang meskipun itu bukan kebetulan yang luar biasa di sekolah sekecil ini. Kami berjalan bareng ke gimnasium; ia ternyata cowok yang senang mengobrol—kebanyakan topik pembicaraan kami berasal darinya, memudahkan segalanya buatku. Ia tinggal di California sampai umur sepuluh tahun, jadi ia tahu bagaimana perasaanku tentang matahari. Dari pembicaraan kami, aku jadi tahu ia juga sekelas denganku di bahasa Inggris. Ia orang paling ramah yang kutemui hari ini. Tapi ketika kami memasuki gimnasium, ia bertanya, "Jadi, kau menusuk Cakka Cullen dengan pensil atau apa? Aku tak pernah melihatnya bersikap seperti itu." Aku menciut Jadi, aku bukan satu-satunya yang memerhatikan hal ini. Dan rupanya itu bukan perilaku Cakka yang biasanya. Aku memutuskan untuk berpurapura tidak tahu. "Maksudmu cowok yang duduk di sebelahku di kelas Biologi?" tanyaku polos. "Ya," katanya. "Dia kelihatan kesakitan atau apa." "Aku tidak tahu," timpalku. "Aku tak pernah bicara dengannya." "Dia aneh." Bukannya menuju kamar ganti, Mike malah terus bersamaku. "Kalau aku cukup beruntung bisa duduk denganmu, aku bakal mengobrol denganmu." Aku tersenyum padanya sebelum melangkah ke kamar ganti cewek. Ia cukup bersahabat dan memesona. Tapi itu tak cukup mengobati sakit hatiku. Guru senam kami. Pelatih Clapp, memberikan seragam buatku. Ia tidak menyuruhku mengganti pakaian dengan seragamku untuk kelas hari ini. Di tempat asalku, pelajaran olahraga hanya selama dua tahun. Di sini pelajaran olahraga wajib selama empat tahun. Secara harfiah, Forks bagiku adalah neraka di bumi. Berturut-turut aku menyaksikan empat pertandingan voli. Mengingat jumlah cedera yang telah menimpaku—dan yang kutimbulkan—ketika bermain voli aku merasa agak mual. Akhirnya bel terakhir berbunyi. Aku berjalan pelan ke kantor Tata Usaha untuk mengembalikan kertas-kertas yang sudah ditandatangani. Hujan sudah reda, tapi angin bertiup kencang dan lebih dingin. Aku memeluk diriku sendiri. Ketika melangkah ke ruang Tata Usaha yang hangat, aku nyaris langsung berbalik dan melarikan diri. Cakka Cullen berdiri di meja di depanku. Aku mengenali rambut berwarna perunggu yang berantakan itu. Sepertinya ia tidak memerhatikan kedatanganku. Aku berdiri merapat ke dinding belakang menunggu petugas resepsionis selesai. Cakka sedang berdebat dengannya, nada suaranya rendah dan indah. Dengan cepat aku menangkap inti perdebatan mereka. Ia sedang berusaha menukar pelajaran Biologi dari jam keenam ke jam lain—jam mana saja. Aku sama sekali tak percaya keinginannya memindahkan kelas Biologi-nya ada hubungannya denganku. Pasti sesuatu yang lain, sesuatu yang terjadi sebelum aku memasuki kelas itu. Raut wajahnya tadi pasti karena ia sedang jengkel semata. Tak mungkin orang asing ini bisa tiba-tiba sangat tidak menyukaiku. Pintunya terbuka lagi, dan angin dingin tiba-tiba berembus ke dalam ruangan, meniup kertas-kertas di meja, meniup rambutku hingga menutupi wajah. Cewek yang masuk langsung melangkah ke meja, meletakkan catatan di keranjang kawat, lalu keluar lagi. Tapi punggung Cakka Cullen menegang dan perlahan ia berbalik menatapku— wajahnya luar biasa tampan—tatapannya menghunjam dan sarat kebencian. Seketika aku merasakan ketakutan yang amat sangat, hingga bulu kuduk di tanganku meremang. Tatapannya hanya sedetik, tapi membuatku membeku lebih dari angin yang dingin. Ia berbalik lagi ke resepsionis. "Kalau begitu lupakan saja," katanya terburu-buru dengan nada selembut beledu. "Aku mengerti ini tidak mungkin. Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Dan ia berbalik tanpa memandangku lagi, lalu lenyap di balik pintu. Aku berjalan pelan ke meja, wajahku pucat dan bukannya memerah. Kuserahkan kertas yang sudah ditandatangani. "Bagaimana hari pertamamu, Nak?" tanya resepsionis lembut. "Baik," aku berbohong, suaraku lemah. Ia kelihatan tidak percaya. Ketika tiba di lapangan parkir, hanya tinggal beberapa mobil di sana. Truk itu rasanya seperti tempat perlindungan, nyaris mirip rumah yang kumiliki di lubang hijau yang lembab ini. Aku duduk sebentar di dalamnya, hanya menerawang ke luar kaca depan. Tapi ketika aku kedinginan dan membutuhkan kehangatan, kuselipkan kuncinya dan mesin pun menyala. Aku pulang ke rumah Riko sambil menahan air mata sepanjang perjalanan ke sana.

twilight


Twilight
Stephenie Meyer


PROLOG

AKU tak pernah terlalu memikirkan bagaimana akuakan mati—meskipun aku punya cukup alasan beberapabulan terakhir ini—tapi kalaupun memiliki alasan, aku takpernah membayangkan akan seperti ini.Aku menatap ruangan panjang itu tanpa bernapas, kedalam mata gelap sang pemburu, dan ia balas menatapkusenang.Tentunya ini cara yang bagus untuk mati, menggantikanorang lain, orang yang kucintai. Bahkan mulia. Mestinyaitu berarti sesuatu.Aku tahu jika aku tak pernah pergi ke Forks, aku takkanberhadapan dengan kematian sekarang. Tapi seperti yangkutakutkan, aku tak menyesali keputusan itu. Ketika hidupmenawarkan mimpi yang jauh melebihi harapanmu, tidakmasuk akal untuk menyesalinya bila impian itu berakhir.Sang pemburu tersenyum bersahabat saat ia melangkahuntuk membunuhku.
twilight prolog